Catatan Nilna

Friday, December 21, 2012

Catatan Nilna Skizofrenia

Sabtu sore, 5 November 2011. Lirik lagu itu terus saja terdengar di telingaku. One litre of Tears, sebuah film yang menceritakan perjuangan Aya, seorang gadis berkebangsaan Jepang yang menderita penyakit ataksia (Spinocellebral degeneration disease). Melihat film ini seperti bercermin pada diriku sendiri. Bayang-bayang masa lau, dan harapan tentang masa depan membuatku tak berhenti mengeluarkan air mata. Seperti mata air Aya yang menghiasi buku hariannya.

Aku menangis, saat Aya menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Seorang gadis 15 tahun yang penuh mimpi dan cita-cita terpaksa harus menerima realita bahwa dia tak akan menjalani hidup seperti gadis-gaids remaja yang lainnya. Perlahan dia akan kesulitan berjalan, tidak mampu berbicara kecuali sepatah dua patah kata, bahkan untuk makan pun ia perlu minta bantuan pada orang lain.

Seketika aku melihat bayangan diriku tujuh tahun yang lalu. Saat usiaku 16 tahun, dokter menyatakan bahwa aku terkena Schizophrenia. Perlahan-lahan aku akan tidak bisa lancar berbicara, pikiranku selalu bingung. Suatu saat, aku menangis tanpa sebab. Di saat lain, aku lupa pada benda-benda yang penting bagiku. Aku harus menjalani terapi pengobatan, dan terpaksa harus berhenti sekolah. Perlahan teman-teman, sahabatku, dan orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Entah karena mereka tidak paham terhadap perubahan diriku, atau mereka terlalu tidak perduli.

Why did the disease choose me? 
Aya bertanya pada ibunya sambil menangis. Seketika aku teringat pada suatu hari aku pun menanyakan hal yang sama pada ibuku.
"Mengapa harus aku?"
"Mengapa tidak yang lainnya?"
Aku masih punya mimpi dan cita-cita yang ingin  kukejar. Tapi aku berusaha untuk bertahan.

Dengan segala ketidaktahuanku, kuhabiskan hari untuk mencari informasi tentang penyakit ini. Ternyata fenomena skizofrenia ini sudah ada sejak sebelum abad ke-18. Tidak hanya skizofrenia, fenomena kegilaan lainya pun ditemukan pada masyarakat-masyarakat primitif. Focaul, seorang postmodernis dari Eropa dalam essaynya Madnes and Civilitation menyebutkan bahwa fenomena dukun Shaman mempunyai ciri-ciri kegilaan. Tapi aku kan tidak gila? Menurut orang-orang aku hanya aneh.

Tapi semakin aku mencari, semakin aku merasakan kerapuhanku untuk bisa bertahan hidup. Kenyataan bahwa penderita Skizofrenia akan menjadi beban bagi orang-orang disekitarnya. Kenyataan bahwa ODS (Orang Dengan Skizofrenia) dipandang sebelah mata, bahkan diasingkan dan dirantai!.

Aku merasa bahwa hidup itu bagaikan sebuah mozaik. Setiap kejadian yang kita alami adalah kepingan puzzle yang berserak. Satu demi satu kepingan itu akan kita temukan menjadi sebuah gambaran utuh diri kita.

Mungkin, sebagian orang akan dengan mudah menemukan kepingan puzzle dan menyusunnya menjadi sebuah gambar yang utuh. Namun tidak sedikit orang yang berususah payah mencari kepingan puzzle-nya, bahkan ketika menemukannya pun, ia tidak bisa segera mengenali, gambar mana yang mencerminkan dirinya. Orang Dengan Skizofrenia adalah satu dari sedikit orang itu. Dan akulah satu diantaranya. Inilah yang aku temukan.

Selama ini sungguh aku tak mengenali diriku senfiri, siapa aku dan apa yang aku inginan. Kini, aku melihat kenyataan yang membuatku terkejut bahwa diriku tak sesempurna yang kupikirkan. Wajahku cantik, prestasi akademikku tak pernah mengecewakan. Keluargaku, sayang padaku. Tapi kenyataan membuka mataku, bahwa aku adalah seseorang yang kadar dopamin dan serotoninnya tidak normal. Selama ini, sungguh meskipun aku tahu bahwa aku seorang skizoprenic, aku meremehkannya. Toh, aku merasa bisa beraktifitas serperti orang normal meski tak tahu batas dimana aku tak mampu mengerjakannnya. Tapi sekian waktu berjalan, aku tetaplah seorang skizoprenic yang harus berkutat dengan oabt dan injeksi. Aku menyadari bahwa diriku tidak bisa disamakan dengan orang normal lainnya. Selama ini, sungguh aku memaksakan diriku untuk bisa melebihi orang normal. Aku ingin menunjukkan bahwa skizoprenic juga bisa berguna. Skizoprenic bukanlah sampah yang dibuang masyarakat. Tapi aku lupa, bahwa memang segala tenagaku, pikiranku tetap tidak bisa melebihi orang normal.

Aku sempat tidak bisa melihat gambran diriku dengan jelas. Sangat sulit bagiku untuk mendefinisikan perasaaan apa yang berkecamuk di hatiku. Bahakan menterjemahkan sedih atau bahagia, aku tidak bisa. Apakah aku benci atau cinta. Kadang dalam tawa, aku menangis, begitu pula aku tertawa dalam tangisanku. Apa yang terjadi dalam hidupku masih menjadi misteri. Seperti hutan lebat yang pekat tiada cahaya untuk disusuri. Seperti mencari bayangan disaat gerhana. Aku bahkan tidak pernah tahu sampai kapan ini berakhir. Sakit sekali rasanya bila apa yang kuinginkan hanya bisa kulihat, dan tanpa bisa kugapai.

Sakit sekali rasanya melihat orang lain bisa memperolehnya dengan mudah, sementara aku harus bersusah payah. 

Sakit sekali rasanya, harus menerima kenyataan bahwa aku tidak mampu menyamai langkah teman-temanku, bahkan dengan berlari sekalipun.

Sakit sekali rasanya, menerima kenyataan bahwa selama ini aku menjadi beban bagi orang-orang disekitarku. Mendengarkan keluhan mereka tentang sikap dan tingkah lakuku yang aneh.

Sakit sekali rasanya, bukan karena aku dibenci, tetapi segala usahaku yang tampak sia-sia. Sekeras apapun aku berusaha untuk menjalani hidup, seperti orang normal, tetap saja aku adalah skizofrenic yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan. Bahkan menatap masa depan pun aku tidak berani.

Jika Aya akhirnya bisa menerima kondisi dirinya dan tetap bertahan utnuk hidup, pada akhinya aku harus menerima kenyataan dan terus berjalan. Meski sesulit apapun hidup yang kujalani, berkali-kali relaps dan masuk rumah sakit. Tetap saja esok hari aku membuka mata dan menatap sinar matahari pagi.

Seperti Aya, aku berusaha berdamai dengan diriku. Menerima diriku apa adanya. Menerima kekalahan dan kelemahan. Menerima ada banyak hal yang tidak bisa kuraih. Menerima bahwa aku harus terus minum obat, entah sampai kapan. Atau mungkin seumur hidup.

Namun cara apapun yang kita lakukan untuk sembuh dari penyakit ini, butuh waktu yang lama untuk melakukan proses belajar. Penyakit ini tidak sama dengan sakit flu yang sekali minum obat besok langsung sembuh. Melihat Aya yang bersemangat dan terus menulis ditengah keterbatasannya. Aku pun mulai bersemangat untuk menuliskan apa yang kurasakan, apa yang ada dalam pikiranku. Karena aku takut, suatu hari nanti aku tidak akan bisa mengingat lagi saat-saat yang paling membahagiakan, bahkan menyedihkan sekalipun. Aku lupa aku pernah mencintai siapa, dan bagaimana rasanya.

Selama tujuh tahun Aya bertahan hidup, pada akhirnya ia meninggal saat usianya 22 tahun. Sedangkan aku telah melewati tujuh tahun dan hidup sampai saat ini. Sesungguhnya aku sangat takut untuk bermimpi tentang masa depan. Akan kemana lagi aku setelah ini. Apakah aku akan bekerja, menikah, punya anak dan keluarga seperti teman-temanku yang lainnya.

Yang aku tahu aku masih punya setitik harapan untuk bertahan hidup. Demi ayah, ibu, dan adikku, demi melihat ODS lain yang sama-sama berjuang, demi menuliskan perasaan sedih dan bahagia, harapan dan cita-cita.

Agar kelak jika suatu hari nanti aku telah tiada, setidaknya aku bisa memberikan semangat pada ODS yang lain untuk tetap berahan hidup dalam kondisi seburuk apapun. Mungkin mereka benar, ODS sepertiku perlu seseorang yang mencintai dan mengasihi dengan tulus. Seseorang, yang membantu menemukan puzzle-puzzle yang terserak diantara puing-puing hati yang rapuh. Lalu menyusunnya menjadi suatu gambaran yang utuh. Mengambilkan cermin dan berkata, ini lah dirimu yang sebenarnya. Begitu indah dengan keunikannya.

Oleh : Tyas
(Terinspirasi kisah seorang sahabat di Malang teruslah semangat. We love you....)

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Alur Kecil.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Powered by Blogger.
Creative Commons License
DMCA.com