Masih Butuhkah Kita Dengan Kedutaan?

Thursday, September 5, 2013

RI dan Pretoria

Salah satu dampak dari resesi global adalah banyak negara-negara yang menskala ulang perwakilan diplomatik mereka di luar negeri dengan menutup beberapa kedutaannya. Dihadapkan dengan realitas ekonomi dan keuangan selama periode kemerosotan ekonomi saat ini, negara tidak memiliki pilihan banyak selain memotong pengeluaran terkait pemeliharaan dan pengoperasian kedutaan di luar negeri.

Untuk negara-negara berkembang, khususnya mereka yang menghadapi masalah seperti kemiskinan, ketimpangan pendapatan yang serius, ekonomi carut marut dan rata-rata kualitas hidup warganya yang buruk, maka akan sangat sulit mengalokasikan anggaran yang terbatas untuk terus mengaktifkan kedutaannya. Pemotongan anggaran ini tentu akan semakin menjadi mudah bagi politisi sok untuk mendukung pemotongan anggaran dengan menargetkan diplomat yang dirasakan mereka memiliki "gaya hidup" luar negeri.

Tidak heran jika kemudian telah ada dialog atau perdebatan mengenai apakah kedutaan dan diplomat masih diperlukan atau relevan di abad 21 ini. Globalisasi dan kemajuan pesat dalam teknologi informasi dan telekomunikasi telah menghubungkan miliaran orang di dunia ini.

Seorang mantan diplomat Inggris Carne Ross sangat menekankan hal ini, dia mencatat bahwa kedutaan konvensional sudah tidak cocok lagi untuk saat ini.

Bahkan ada beberapa pendapat yang melangkah lebih jauh lagi, yang berpendapat bahwa kedutaan tidak lagi memiliki peran dalam melaksanakan diplomasi dan kebijakan luar negeri. Pendukung pandangan ini adalah mereka yang merasakan manfaat telekomunikasi, sistem informasi dan jaringan modern. Daripada untuk menghabiskan jutaan dolar untuk menjaga duta besar, tim keamanan, staf pendukung lainnya yang berada diluar negeri. Presiden atau perdana menteri sekarang dapat dengan mudah berkomunikasi secara langsung mengenai hal-hal yang mendesak dan penting dengan negara lain. Telepon seluler, e-mail, dan teknologi konferensi video memungkinkan para pemimpin dunia dan birokrat untuk berkomunikasi dan berkoordinasi langsung satu sama lain.

Jika memang kontak langsung orang ke orang memang menjadi kehausan, maka pun sudah ada perjalanan udara yang memungkinkan seorang pejabat bisa berada di mana saja di dunia ini dalam waktu kurang dari satu hari. Beberapa negara di dunia ini bahkan sudah menunjuk utusan khusus untuk tugas ini. Penggunaan utusan khusus guna mengkover negara-negara/masalah-masalah tertentu, tentunya akan jauh lebih menghemat biaya ketimbang terus mempertahankan kedutaan di luar negeri.

Dan tentu saja internet sudah mempermudah pengumpulan informasi dan memantau peristiwa dan perkembangan di luar negeri. Sebuah jaringan kontak lokal juga dapat dibuat layaknya sumber di lapangan untuk membantu mengumpulkan dan mengevaluasi data, informasi dan berita, yang kemudian tersedia dalam bentuk elektronik.

Jadi tampaknya akan menjadi argumen kuat untuk meniadakan kedutaan, terutama bagi negara yang sedang menghadapi realitas fiskal dan ekonomi yang carut marut. Namun tidak dipungkiri bahwa ada pula kasus yang sama kuat yang juga mengharuskan untuk mempertahankan kehadiran diplomat di luar negeri. Kasus ini didasarkan pada premis bahwa pengeluaran yang diperlukan untuk kedutaan tersebut akan menghasilkan pengembalian dalam jangka panjang.

Ambil contoh Zambia, yang pada tahun 2009 menghabiskan sekitar 20 juta dolar untuk misi asing. Itu jumlah yang signifikan, tetapi dengan ekonominya yang senilai 20 miliar dolar pertahun, maka itu hanya mewakili 0,1 persen dari PDB. Negara-negara berkembang seperti Indonesia pun biasanya membutuhkan investasi asing langsung dan akses pasar untuk barang dan jasa untuk membantu menumbuhkan ekonomi mereka, dan kedutaan besar tentu akan memainkan peran kunci untuk hal semacam ini.

Dilihat dari konteks itu, mengeluarkan dana untuk meningkatkan kemungkinan mengamankan investasi, akses pasar dan bantuan luar negeri untuk pembangunan berkelanjutan tampaknya itu memang menjadi pengeluaran yang bermanfaat.

Namun kembali lagi, diplomasi dan pengelolaan hubungan antar negara bukanlah bisinis. Meskipun faktanya kepentingan ekonomi dan komersial selalu memainkan faktor besar, diplomasi sesungguhnya lebih dari sekedar dolar dan sen. Secara khusus, membentuk atau mempertahankan kedutaan adalah sinyal jelas komitmen kepada pemerintah tuan rumah untuk memperdalam hubungan bilateral.

[Foto: Indonesia-Pretoria]

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Alur Kecil.
Design by Herdiansyah Hamzah. Published by Themes Paper. Powered by Blogger.
Creative Commons License
DMCA.com