Reuters baru-baru ini melaporkan bahwa sebuah keluarga dari Azerbaijan (eks Republik Uni Soviet) yang tinggal di Jerman sebagai pengungsi tidak bisa mengubah nama Muslim mereka ke nama Jerman, bahkan di pengadilan. Berita itu memicu gelombang kritik terhadap keadilan Jerman. Banyak orang mengatakan bahwa Jerman tidak cukup demokratis karena negara itu tidak memberikan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan.
Para pengungsi dari Azerbaijan dilaporkan hanya diberi kesempatan untuk memakai nama asli Azerbaijan yang aksaranya atau pengucapannya mirip dengan nama Jerman. Namun, nama-nama itupun hanya boleh digunakan sebagai alias dari nama asli mereka.
Namun sang kepala keluarga, Azeri, dengan keras menolak saran itu dan mengatakan bahwa mereka hanya ingin memakai nama Jerman yang benar-benar baru untuk mencegah diskriminasi yang bisa saja terjadi dalam kehidupan mereka di masa depan. Menurutnya, kesulitan untuk keluarganya di masa depan bisa muncul baik karena pengucapan yang rumit dari nama asli mereka atau berhubungan dengan agama mereka - Islam.
"Fakta bahwa nama keluarga tersebut berasal dari bahasa asing, atau tidak terdengar seperti nama Jerman, tidak bisa dijadikan alasan tepat untuk mengubah nama mereka," pengadilan Jerman mengatakan.
Jerman sebagai salah satu negara dengan tingkat pengangguran terendah di Eropa, memang telah menjadi daya tarik bagi banyak imigran. Jerman secara bertahap menjadi daya tarik besar untuk imigran dari Eropa dan dari bagian lain dunia. Setahun lalu, Jerman menambah kuota untuk pekerja dari Eropa Timur. Arus imigrasi yang tajam datang ke Jerman antara lain datang dari negara Polandia. Imigran dari negara-negara Arab meningkat jumlahlah sebesar 11 persen pada tahun lalu. Menurut PBB, Jerman menempati peringkat ketiga dalam daftar 44 negara industri maju dunia yang menjadi daya tarik bagi imigran.
Ketika pengamat berbicara tentang pertumbuhan xenophobia di Jerman pada umumnya dan tentang pertumbuhan sentimen anti Islam khususnya, ada hal yang tidak beres dalam sambutan Jerman.
Awalnya Jerman bukanlah negara yang memiliki sikap buruk pada imigran. Ada hampir 4 juta muslim yang tinggal di Jerman. selain itu, ada laporan terbaru dari Menteri Dalam Negeri Jerman Hans Peter Friedrich yang mengatakan bahwa jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kiri meningkat 31,4% dibanding kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan (2,7%). Tidak seperti sayap kanan, ekstrimis sayap kiri lebih suka "bermain" dengan pendatang. Untuk itu, pemerintah Jerman kini lebih bersikap waspada kepada imigran dari negara-negara Arab.
Mari kita lihat juga negara lain. Parlemen Swedia sekarang memiliki anggota sayap kanan, ini untuk pertama kalinya dalam sejarah politik negara itu. Tahun lalu, pemilih Australia mendukung saran sayap kanan untuk melarang pembangunan masjid dan bangunan lain yang bercirikan islam di negara Swedia. Di pemilihan terakhir di Prancis, mayoritas warga non kulit putih Perancis menentang Sarkozy karena Sarkozy memeberikan payung hukum pada keputusan pemerintah Perancis yang melarang warganya memakai jilbab. Keputusan pemerintah Perancis itupun dikecam oleh banyak pihak.
Sekarang, mari kita lihat Amerika Serikat yang katanya sebagai negara "the stronghold of democracy and tolerance". Pekan lalu, sebuah keluarga tidak diijinkan untuk naik pesawat di Fort Lauderdale, Florida. Alasannya sangat tidak masuk akal, nama putrinya yang baru berumur 18 bulan tercatat sebagai nama salah satu tersangka teroris Amerika Serikat.
Ayah gadis itu yakin bahwa karyawan maskapai JetBlue tersebut menolak mereka karena mereka adalah penduduk timur tengah dan karena istrinya mengenakan jilbab (jilbab). Pada hari berikutnya, maskapai ini lalu menjelaskan bahwa insiden tersebut akibat kerusakan komputer dan meminta maaf kepada keluarga itu.
sumber gambar
Para pengungsi dari Azerbaijan dilaporkan hanya diberi kesempatan untuk memakai nama asli Azerbaijan yang aksaranya atau pengucapannya mirip dengan nama Jerman. Namun, nama-nama itupun hanya boleh digunakan sebagai alias dari nama asli mereka.
Namun sang kepala keluarga, Azeri, dengan keras menolak saran itu dan mengatakan bahwa mereka hanya ingin memakai nama Jerman yang benar-benar baru untuk mencegah diskriminasi yang bisa saja terjadi dalam kehidupan mereka di masa depan. Menurutnya, kesulitan untuk keluarganya di masa depan bisa muncul baik karena pengucapan yang rumit dari nama asli mereka atau berhubungan dengan agama mereka - Islam.
"Fakta bahwa nama keluarga tersebut berasal dari bahasa asing, atau tidak terdengar seperti nama Jerman, tidak bisa dijadikan alasan tepat untuk mengubah nama mereka," pengadilan Jerman mengatakan.
Jerman sebagai salah satu negara dengan tingkat pengangguran terendah di Eropa, memang telah menjadi daya tarik bagi banyak imigran. Jerman secara bertahap menjadi daya tarik besar untuk imigran dari Eropa dan dari bagian lain dunia. Setahun lalu, Jerman menambah kuota untuk pekerja dari Eropa Timur. Arus imigrasi yang tajam datang ke Jerman antara lain datang dari negara Polandia. Imigran dari negara-negara Arab meningkat jumlahlah sebesar 11 persen pada tahun lalu. Menurut PBB, Jerman menempati peringkat ketiga dalam daftar 44 negara industri maju dunia yang menjadi daya tarik bagi imigran.
Ketika pengamat berbicara tentang pertumbuhan xenophobia di Jerman pada umumnya dan tentang pertumbuhan sentimen anti Islam khususnya, ada hal yang tidak beres dalam sambutan Jerman.
Awalnya Jerman bukanlah negara yang memiliki sikap buruk pada imigran. Ada hampir 4 juta muslim yang tinggal di Jerman. selain itu, ada laporan terbaru dari Menteri Dalam Negeri Jerman Hans Peter Friedrich yang mengatakan bahwa jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kiri meningkat 31,4% dibanding kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan (2,7%). Tidak seperti sayap kanan, ekstrimis sayap kiri lebih suka "bermain" dengan pendatang. Untuk itu, pemerintah Jerman kini lebih bersikap waspada kepada imigran dari negara-negara Arab.
Mari kita lihat juga negara lain. Parlemen Swedia sekarang memiliki anggota sayap kanan, ini untuk pertama kalinya dalam sejarah politik negara itu. Tahun lalu, pemilih Australia mendukung saran sayap kanan untuk melarang pembangunan masjid dan bangunan lain yang bercirikan islam di negara Swedia. Di pemilihan terakhir di Prancis, mayoritas warga non kulit putih Perancis menentang Sarkozy karena Sarkozy memeberikan payung hukum pada keputusan pemerintah Perancis yang melarang warganya memakai jilbab. Keputusan pemerintah Perancis itupun dikecam oleh banyak pihak.
Sekarang, mari kita lihat Amerika Serikat yang katanya sebagai negara "the stronghold of democracy and tolerance". Pekan lalu, sebuah keluarga tidak diijinkan untuk naik pesawat di Fort Lauderdale, Florida. Alasannya sangat tidak masuk akal, nama putrinya yang baru berumur 18 bulan tercatat sebagai nama salah satu tersangka teroris Amerika Serikat.
Ayah gadis itu yakin bahwa karyawan maskapai JetBlue tersebut menolak mereka karena mereka adalah penduduk timur tengah dan karena istrinya mengenakan jilbab (jilbab). Pada hari berikutnya, maskapai ini lalu menjelaskan bahwa insiden tersebut akibat kerusakan komputer dan meminta maaf kepada keluarga itu.
sumber gambar
No comments:
Post a Comment